Twitter

Lanskap Peredaran Pangan Laut

Posted by Nova Jessica - -

Pangan Laut  

Terlalu banyaknya penangkapan ikan di laut menjadi masalah perikanan saat ini. Dengan menggunakan perahu-perahu kecil hingga kapal-kapal pukat raksasa berskala industri, para nelayan mengeruk 77,9 juta metrik ton hidupan liar dari laut setiap tahun. Sebuah penelitian baru memperlihatkan bahwa kebutuhan kita akan pangan laut saat ini dapat mengantarkan pada kepunahan perikanan di seluruh penjuru dunia dalam waktu dekat.


Edisi: Oktober 2010Lanskap Peredaran Pangan Laut


Seberapa tepatnya ketidakmampuan itu dapat dilihat dalam analisa global perdagangan pangan laut yang disusun oleh Wilf Swartz, seorang ahli ekonomi yang bekerja di Lanskap Peredaran Pangan Laut. Sebagaimana diperlihatkan oleh peta-peta di artikel ini, konsumsi produksi primer laut oleh manusia berubah secara dramatis dari 1950-an hingga awal 2000-an. Pada 1950-an luas lautan yang diambil ikannya untuk memenuhi kebutuhan manusia jauh lebih kecil. Namun, seiring meningkatnya permintaan negara-negara kaya akan predator-predator puncak, kapasitas produksi primer zona ekonomi eksklusif mereka, yang membentang sejauh 370 kilometer laut dari pantai, telah terlampaui. Sebagai akibatnya, semakin banyak penangkapan ikan yang terjadi di laut bebas untuk menjaga agar jumlah pasokan tetap konstan atau bertambah.

Wilayah-wilayah di luar zona ini dalam bahasa kelautan dikenal sebagai laut bebas. Teritori sangat luas ini, yang mana wilayah tak bertuan terakhir di Bumi, secara teknis bukan milik siapapun. Tangkapan dari wilayah-wilayah laut bebas mengalami peningkatan hingga mendekati sepuluh kali jumlah tangkapan pada 1950, dari 1,6 juta metrik ton menjadi sekitar 13 juta metrik ton. Sebagian besar tangkapan itu adalah ikan tuna yang bernilai tinggi dan berada di puncak rantai makanan dengan jejak pangan lautnya yang sangat besar.

Negara-negara lebih makmur yang membeli sebagian besar produk-produk perikanan ini pada dasarnya dapat dikatakan telah melakukan privatisasi. Negara-negara yang lebih miskin jelas tidak mampu untuk menawar spesies-spesies bernilai tinggi. Penduduknya juga berpotensi mengalami kerugian besar jika pemerintahnya melakukan perjanjian perdagangan atau penangkapan ikan dengan negara-negara yang lebih kaya. Dalam perjanjian-perjanjian seperti ini, ikan-ikan tangkapan lokal dijual di luar negeri dan terlarang bagi penduduk setempat – yang sejatinya memiliki kebutuhan terbesar untuk mengkonsumsinya dan hak terbesar atas kepemilikannya.

Walaupun pasar-pasar swalayan di negara-negara maju seperti AS dan Jepang masih dibanjiri daging ikan, Lanskap Peredaran Pangan Laut menyatakan bahwa keberlimpahan ini hanyalah ilusi besar berdasarkan dua fenomena yang mengganggu: semakin luas bagian wilayah laut bebas yang berubah dari teritori tak terjamah menjadi ladang penangkapan ikan yang dieksploitasi dan dimonopoli; serta kekayaan pangan laut negara-negara miskin yang dikeruk oleh penawar tertinggi.


Men KP Dr Ir Fadel Muhammad: Indonesia Lirik Pasar Perikanan diTimur Tengah dan Afrika

(Surabaya, MADINA): Setelah melakukan terobosan ekspor produk perikanan ke sejumlah negara besar, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KemenKP) kembali mulai melirik  pasar prospektif lainnya, seperti Timur Tengah dan Afrika. Kedua kawasan ini merupakan pasar yang cukup menjanjikan karena keduanya memiliki perkembangan ekonomi yang sangat pesat. Kedua kawasan tersebut memiliki nilai impor produk perikanan dunia mencapai USD1,07 miliar, sedangkan Indonesia tahun 2007 baru dapat mengekspor ke Timur Tengah dan Afrika masing-masing sebesar USD44,2 juta dan USD42,5 juta.
Demikian  paparan Menteri Kelautan dan Perikanan (Men KP), Dr Ir Fadel Muhammad, pada acara “Pelepasan Ekspor Produk Perikanan Indonesia ke Timur Tengah dan Afrika”, di Surabaya, Provinsi Jawa Timur, Senin (18/1) lalu.

“Memperluas akses pasar domestik dan internasional merupakan salah satu grand strategi KemenKP dalam rangka mewujudkan visinya menjadikan Indonesia sebagai penghasil produk kelautan dan perikanan terbesar pada tahun 2015. Salah satu upaya untuk memperluas pasar internasional adalah dengan “membidik” Timur Tengah dan Afrika sebagai peluang pasar baru produk perikanan,” tegas Fadel. Selama ini, pasar produk perikanan Indonesia hanya bertumpu pada Jepang, Amerika dan Eropa sebanyak 70 persen, sedangkan ke negara-negara ASEAN hanya sebesar 12 persen dan 11 persen ke Asia Timur (Cina, Korea Selatan dan Taiwan), serta sisanya ke  Afrika, Amerika Latin, eks Eropa Timur,  dan Timur Tengah.

Kawasan Afrika dan Timur Tengah merupakan pasar yang potensial di masa mendatang dilihat dari jumlah penduduk dan kondisi ekonomi. Pasar Timur Tengah merupakan pasar yang menjanjikan dengan faktor infrastruktur, transportasi, posisi geografis Timur Tengah yang strategis sebagai hub perdagangan dengan negara/kawasan lain, tradisi hubungan sosio-kultural historis dengan Indonesia, dan posisi sebagai negara kaya.  Produk perikanan Indonesia yang diekspor ke Timur Tengah dan Afrika adalah tuna beku, tuna kaleng, tilapia beku, salem pasifik, cumi-cumi dan sotong.

Selain itu, udang beku, kepiting, terasi, kerupuk udang, bekicot kaleng, bandeng beku dan petis juga merupakan produk perikanan Indonesia yang diekspor ke kedua kawasan tersebut. Beberapa negara utama saat ini yang penyuplai produk perikanan ke negara-negara Timur Tengah dan Afrika adalah Thailand, Cina,  dan Belgia.

Dalam rangka mendukung peningkatan ekspor produk perikanan, KemenKP sejak tahun 2008 telah melaksanakan penerbitan Health Certificate (HC) berbasis In Process Inspection satu hari di Laboratorium Pengendalian dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (LPPMHP) Surabaya dan DKI Jakarta, dan saat ini telah berkembang di 5 (lima) provinsi lain (Sumatera Utara, Lampung, Bali, Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan). Pada tahun 2010, seluruh LPPMHP ditargetkan dapat melayani HACCP dengan penerbitan HC 1 hari. Manfaat utama yang dapat diperoleh secara langsung dari program Pelayanan HC berbasis In Process Inspection adalah terjadinya pengurangan waktu proses pelayanan HC dari 10 hari menjadi satu hari.

Artinya, program ini telah memberikan manfaat secara ekonomi terhadap para eksportir (pengusaha) produk perikanan berupa percepatan modal kerja dan penghematan waktu penggunaan kontainer di UPI yang pada akhirnya berdampak pada efisiensi biaya sewa dan lainnya bagi perusahaan. Sedangkan secara teknis, penerbitan HC 1 hari memberikan jaminan mutu dan keamanan terhadap setiap produk perikanan yang akan diekspor secara cepat. Sementara itu, bagi pihak laboratorium, dengan adanya HC 1 hari juga menciptakan efisiensi biaya operasional pengujian.

Selama melakukan kunjungan kerja ke Jawa Timur, selain melakukan pelepasan ekspor produk perikanan ke Timur Tengah dan Afrika, Fadel Muhammad juga berkesempatan membuka penyelenggaraan Musyawarah Nasional (Munas) Asosiasi Pengusaha Coldstorage Indonesia (APCI), melakukan peninjauan budidaya air tawar di Umbalan Pasuruan, dan membuka Forum Akselerasi Pembangunan Perikanan Budidaya 2010-2014 Wilayah Tengah Indonesia di Surabaya.


MENINGKATKAN PERAN SEKTOR KELAUTAN DAN PERIKANAN

 Indonesia merupakan sebuah Negara Kepulauan di mana 70% wilayahnya adalah laut. Berbagai jenis kekayaan biota laut ada di perairan Indonesia. Dengan kekayaan laut sebesar ini, Indonesia mestinya menjadi negara sejahtera. Sebagai contoh, jika 120 juta angkatan kerja Indonesia tidak perlu lagi bekerja di darat, laut bisa menjadi lahan untuk mencari nafkah. Di sektor hulu, lapangan kerja begitu luas. Siapa saja bisa menjadi nelayan. Sedangkan di sektor hilir, pabrik ikan akan menyerap banyak tenaga kerja.
Lantas, mengapa laut yang maha luas dan kaya belum bisa memberikan kontribusi yang signifikan terhadap kesejahteraan rakyat, terutama masyarakat nelayan. Pasti ada yang salah dari manajemen negara ini, sehingga sektor perikanan belum mampu membuat nelayan Indonesia sejahtera, menopang industri ikan yang tangguh, dan menjadikan Indonesia eksportir ikan dan produk ikan terbesar di dunia. Ada beberapa hal yang menyebabkan sektor kelautan belum berperan dalam perekonomian nasional.
Pertama, terpuruknya sektor perikanan selama ini disebabkan oleh tiadanya grand design. Indonesia tidak memiliki cetak biru sektor perikanan, baik hulu maupun hilir. Karena itu, kita mendesak pemerintah untuk segera merumuskan cetak biru perikanan Indonesia yang komprehensif dan visioner. Penyusunan grand design sektor perikanan perlu melibatkan semua pihak yang memiliki kompetensi, yakni pelaku usaha di hulu dan hilir sektor perikanan, para akademisi, para pemikir, dan lembaga swadaya masyarakat.
Cetak biru perlu memetakan semua faktor yang dibutuhkan untuk mendorong sektor perikanan, yakni infrastruktur, kelembagaan, pembiayaan, dan pemasaran. Di bagian hulu, cetak biru perikanan perlu mengatur tentang jenis ikan yang tidak boleh diekspor, jenis ikan yang harus diprioritaskan untuk industri dalam negeri, jenis ikan yang diprioritaskan untuk konsumsi masyarakat Indonesia.
Kedua, selain belum memiliki grand design, para penyelanggara negara perlu menegaskan bahwa perikanan adalah sektor strategis dan perlu dikelola secara komersial. Pemerintah wajib mendukung sektor ini dengan infrastruktur yang baik, khususnya pelabuhan dan cold-storage, penyediaan kapal, pembiayaan, institusi, dan pemasaran.
Ketiga, adanya mindset yang keliru bahwa ikan bukan produk strategis seperti daging. Pandangan ini perlu segera diubah. Selain karena Indonesia kaya akan sumber daya perikanan, kenyataan menunjukkan bahwa ikan kaya protein dan berbagai jenis mineral yang bermanfaat bagi kesehatan manusia. Konsumsi ikan dalam jumlah besar akan meningkatkan kualitas kesehatan manusia. Warga Jepang dan Korsel unggul karena banyak mengonsumsi ikan, rata-rata di atas 50 kg per kapita per tahun. Negara yang kurang mengonsumsikan ikan seperti AS dan China unggul karena protein hewani, potein nabati, dan susu.
Keempat, adanya praktik illegal fishing (pencurian ikan) dan illegal license (perizinan) yang sangat merugikan negara. Data Forum Pers Pemerhati Pelanggaran Perikanan Nasional (FP4N) menyebutkan kerugian negara sektor perikanan akibat praktik tersebut mencapai Rp218 triliun. Dilaporkan, dari perizinan sampai praktek di lapangan saat ini banyak dimanipulasi dan dampaknya membuat daerah kehilangan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Untuk itu, pemerintah dan pihak-pihak terkait perlu menindak oknum yang melakukan manipulasi izin dan melakukan penangkapan pada pelaku illegal fishing yang masih berkeliaran. Sebab, jika hal ini dibiarkan, bukan negara saja yang rugi, karena masyarakat pun dimiskinkan bahkan tetap menjadi daerah tertinggal. Sektor perikanan Indonesia potensial tetapi saat ini hancur karena mafia perikanan bahkan nelayan pesisir terancam menganggur.
Sudah saatnya kita memanfaatkan potensi sumber daya kelautan dan perikanan yang sangat besar untuk kemakmuran bangsa ini. Ketika daratan tidak lagi banyak memberi harapan karena boleh dibilang sudah overload, laut menjanjikan kehidupan ekonomi masyarakat yang lebih baik. Kuncinya, perlu ada perubahan paradigma. Selama diperlakukan sebagai sektor inferior, sektor perikanan tidak akan mampu memberikan kontribusi riil kepada bangsa dan negara. Nelayan akan tetap miskin. Industri perikanan akan tetap terpuruk. Ekspor ikan segar dan produk perikanan tidak akan signifikan dibanding ekspor sektor lain.  


Perikanan skala kecil kita saat ini (3): Mensejahterakan nelayan, bukan memperkaya.

 



(Lanjutan)

Bagaimana dengan ekonomi perikanan berbasis kesejahteraan (welfare-based model)?

Untuk model ekonomi perikanan yang satu ini, fokus utama bukan pada menjaga kekayaan laut, namun menjaga kesejahtaeraan nelayan, dalam hal ini nelayan skala kecil.

Model ekonomi berbasis kesejahteraan membantah model ekonomi perikanan berbasis kekayaan dimana: kelimpahan sumberdaya ikan tidak ada hubungan linier dengan kesejahteraan nelayan.

Disini hukum "sedikit ikan = terlalu banyak yang menangkap ikan = terlalu sedikit pendapatan = kemiskinan" tidak berlaku. Sebab model kekayaan membuat ilusi bahwa "jika ikan bisa diperbanyak maka nelayan kaya".

Namun, untuk Indonesia model berbasis kekayaan saat ini tidak sesuai, sebab wealth-model datang dari konsep perikanan barat negara maju. Model ini berjalan baik dengan asumsi sektor pencaharian non-perikanan, seperti agrikultur, industri, pariwisata; lebih menarik bagi masyarakat dan mendominasi perekonomian nasional.

Indonesia saat initidak seperti itu. Banyak sedikitnya ikan bukan penentu utama banyak sedikitnya orang terlibat dalam perikanan skala kecil, sehingga tidak secara langsung menentukan kaya-miskin-nya mereka yang terlibat. Sebab perikanan skala kecil di Indonesia bikan masalah kaya/miskin, namun masalah bekerja atau tidak bekerja, dan rentan atau tidak rentan, dan sejahtera atau tidak sejahtera.

Spesifiknya, ada mekanisme fungsi 'tersembunyi' dari perikanan skala kecil. Pertama, perikanan skala kecil menjadi 'katup pengaman' bagi mereka yang memiliki keterbatasan keahlian perkerjaan yang hanya bisa bergantung langsung dan kuat pada sumber daya alam terbuka. Kedua, perikanan skala kecil merupakan 'jaringan keamanan' sebagai sektor pekerjaan alternatif atau tambahan bagi mereka di sektor non-perikanan yang sedang butuh sokongan sebab ganguan dalam pencaharian.

Lalu bagai mana ekonomi berbasis kesejahteraan bisa menggantikan pendapatan konsep 'sewa laut' dari ekonomi berbasis kekayaan?

Kuncinya terletak dalam bagaimana Indonesia mau membawa nelayan skala kecil memiliki akses untuk pasar global. Dalam hal ini siklus perputaran 'uang ikan ' dipersempit. Disini nelayan skala kecil memiliki kapasitas penuh dalam menangkap, mengolah, mendistribusikan, hingga memasarkan ke luar Indonesia, dan arus perputaran uang ada di lingkaran nelayan skala kecil.

Dalam hal ini akselerasi transaksi dipercepat, dan resiko salah kelola arus pendapatan jauh diperkecil. Sebab kelompok-kelompok nelayan menanggung resiko 'balik modal' masing-masing. Jauh lebih baik ketimbang andil dalam 'pasar global semu' dimana nelayan industri (armada asing atau pengusaha asing) datang, menyewa laut, menangkap dan membayar ikan yang ditangkap, kemudian dikumpulkan di pusat, lalu didistribusikan kembali dalam berbagai wujud ke masyarakat - sebuah siklus yang terlalu panjang.

Dalam situasi perubahan iklim saat ini Kerentanan perikanan skala kecil (nelayan tradisional dan komersil skala kecil) akan meningkat, baik sebab semakin tingginya resiko bekerja, dan terganggunya produktifitas dan distribusi ikan.

Intervensi perlu dilakukan dari skala lokal hingga pusat untuk meningkatkat kapasitas perikanan skala kecil agar tidak termarginalkan dan memiliki posisi tawar kuat dalam kompetisi pasar perikanan nasional dan global global. Dalam prosesnya, fokus 'penyewaan laut' perlu dialihkan, dengan lebih lagi pada penyediaan jaringan pengamanan sosial, kredit mikro dan pengadaan asuransi jiwa formal bagi nelayan skala kecil agar bisa melemahkan proses pemiskinan yang terstruktur dalam jangka panjangnya, serta kesiapan yang lebih matang dalam merespon 'gagal panen' dan resiko gejolak alam lainnya.

Bukan berarti 'sewa laut' tidak penting. Hanya saja prioritas saat ini ialah meningkatkan kapasitas perikanan skala kecil yang tidak dipungkiri sangat intensif pekerja, dan menjanjikan ruang pencegahan kemiskinan dari daya tampung perikanan skala kecil untuk mereka yang sangat bergantung pada alam dan sebagai alternatif sektor kerja bagi mereka transisi di sektor non-perikanan. Alhasil, sebuah sektor kerja yang bisa mencegah kemiskinan.

Nelayan mungkin tergolong miskin, namun pastikan mereka tetap sejahtera (bisa bekerja, ada pendapatan, dan memiliki jaminan sosial dan asuransi sebagaimana mestinya jaminan pekerja di Indonesia).

 

Leave a Reply

Followers

About Me

Foto Saya
Nova Jessica
Lihat profil lengkapku

Sponsors

JAM

FASILITAS PENGUNJUNG

Popular Posts

Bagaimanakan pendapat anda tentang Blog ini??