Twitter

Ikan Mirip Kulit Buaya Ditemukan Nelayan Selayar

Posted by Nova Jessica - -

Tribun Timur - Senin, 28 November 2011 15:23 WITA
Share |
Ikan-mirip-kulit-buaya.jpg
Tampalang, nelayan asal selayar memperlihatka 2 ikan aneh hasil tangkapan pukatnya



TRIBUN-TIMUR.COM, BULUKUMBA - Warga nelayan rumput laut di pesisir Pantai Majapahit, Desa Majapahit, Kecamatan Pasimarannu, Kabupaten Kepulauan Selayar, digegerkan dengan penemuan dua ekor ikan ukuran kecil yang berkulit mirip buaya.

Kedua ikan aneh itu terperangkap pukat milik seorang nelayan bernama Tampalang (65).

Warga nelayan asal Dusun Erowali, Desa Majapahit ini mengaku menemukan ikan mirip kulit buaya, saat akan melepas jaringnya akhir pekan lalu.

Tampalang mengungkapkan, selama 60 tahun menjadi nelayan, baru kali ini menjumpai ikan yang berkulit aneh dan tidak diketahui spesiesnya oleh warga nelayan setempat.
 
 
 

KPK Hanya Jaring Ikan Teri, Kapan Ikan Paus-nya?

 
Ilustrasi
Ilustrasi
JAKARTA - Wakil Ketua DPR Pramono Anung menyindir kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tidak memiliki skala prioritas penanganan perkara korupsi.

Penangkapan jaksa Sistoyo tadi malam dengan nilai uang suap hampir Rp100 juta membuktikan KPK hanya memusatkan perhatian kepada korupsi skala kecil.

"Apa pun korupsi itu harus diberantas. Tetapi kalau yang tertangkap 'ikan teri' terus kapan ikan pausnya tertangkap. KPK itu superbody, bekerja bukan untuk hal yang biasa, tetapi luar biasa," kata Pramono di gedung DPR, Jakarta, Selasa (22/11/2011).

Menurut Pramono, KPK seharusnya memprioritaskan penanganan perkara korupsi kakap. "Bahkan, dalam Undang-Undang yang mengatur Tipikor kasus yang harus ditangani minimal Rp1 miliar," sebutnya.

Dia menyayangkan ketidakberanian KPK mengusut kasus dugaan korupsi yang melibatkan orang-orang tertentu. "Jangan kemudian KPK itu tajam kepada orang yang secara politik tidak punya kesadaran. Tetapi akan jadi tumpul ketika menyangkut orang-orang nama besar," kritiknya.

Kendati begitu Pramono berharap KPK menuntaskan kasus dugaan suap yang melibatkan Sistoyo, Kepala Sub Direktorat Pembinaan Kejaksaan Negeri Cibinong, Jawa Barat.

"Saya tidak menafikan bahwa kasus jaksa itu adalah hal yang harus diselesaikan. Tapi kalau kita lihat pada kasus yang terjadi di Tangerang itu (Jaksa Seno) dengan kasus hari ini, menurut saya secara kualitas tidak ada hal yang luar biasa," pungkasnya.

Selain itu, politikus senior PDI Perjuangan ini menilai Kejaksaan Agung gagal melakukan pengawasan internal. "Karena ini menyangkut Kasubdit pembinaan, ini terasa aneh seorang Kasubdit malah melakukan tindak pidana. Jadi, kejaksaan punya andil besar untuk kesalahan itu," ujarnya.

 

MAFIA PERIKANAN III, ICW Seriusi Laporan Praktek Illegal License



KERUGIAN negara di sektor perikanan mencapai Rp 218 triliun. Kebocoran uang negara ini berasal dari praktek illegal license (perizinan tidak sah) di Kementerian Kelautan dan Perikanan beserta dampak ikutannya yang dilakukan oleh para pengusaha perikanan di Indonesia.  Forum Pers Pemerhati Perikanan Nasional (FPAN) bersama Indonesia Corruption Watch (ICW) juga akan membawa kasus ini ke kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk diselidiki.
Ketua Forum Pers Pemerhati Pelanggaran Perikanan Nasional( FP4N), Ivan Rishky Kaya, mengungkapkan besarnya kerugian negara di sektor perikanan ini, diakibatkan adanya manipulasi perizinan yang dilakukan oknum pejabat di bawah Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan beserta manipulasi yang dilakukan oleh pengusaha perikanan. Akibat dari praktek ini, bukan hanya Negara yang kehilangan potensi perikanannya karena dicuri, tetapi daerah juga kehilangan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
“Dari izin sampai pengerukan hasil laut yang dimanipulasi, maka tak heran daerah yang memiliki potensi perikanan yang  besar tak pernah sejahtera. Hal ini dibuktikan dengan adanya kemiskinan di daerah-daerah sentra tangkapan perikanan,” ujar Ivan kepada Indonesia Maritime Magazine belum lama ini.
Ivan menilai jika hal ini dibiarkan, bukan negara saja yang rugi, masyarakat dan daerahnya pun juga dirugikan. Sebab, masyarakatnya tetap miskin dan daerahnya juga tertinggal. “Sektor perikanan Indonesia potensial, tapi saat ini hancur karena mafia perikanan, bahkan nelayan pesisir tidak hanya terancam menganggur, tetapi akan tetap hidup di bawah kemiskinan,” terangnya.
Mafia perikanan menurut Ivan, bukan hanya melibatkan oknum-oknum petugas di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) itu sendiri, melainkan terindikasi melibatkan oknum aparat kepolisian dan oknum aparat hukum.
“Potensi kita menjadi Negara yang kaya dari segi perikanan sangatlah dimungkinkan, namun tidak akan terwujud apabila mafia perikanan ini tidak dibersihkan. Untuk itu, kami (FP4N) telah menyerahkan bukti-bukti ke KKP dan ICW,” tambah pria kelahiran Kota Ambon.
Ivan menjelaskan, Menteri Kelautan dan Perikanan yang merupakan salah satu petinggi di kepengurusan DPP Partai Golkar, Fadel Muhammad hanya mengembar-gemborkan adanya pemberantasan atau penangkapan pelaku illegal fishing yang terjadi di perbatasan laut Indonesia, sedangkan illegal license terjadi di dalam (wilayah) laut Indonesia, dengan cara menggunakan Bendera Indonesia, tetapi isinya orang  asing yang diduga  mendapatkan izin manipulatif dari KKP tidak digembar-gemborkan untuk diberantas.
“Pak Menteri hanya suka menggembar-gemborkan penangkapan pelaku illegal fishing. Namun oknum-oknum di KKP sendiri yang terindikasi kuat melakukan illegal license tidak pernah diberantas atau diungkapkan ke publik,” sesal Ivan.
Ivan menegaskan, dengan adanya tindakan dari oknum pejabat di lingkungan Kementerian Kelautan dan Perikanan yang sengaja menjual belikan perizinan impor kapal asing kepada perusahaan yang tidak berbasis industri serta Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), Surat  Izin Penangkapan Ikan (SIPI), Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI) tanpa melalui prosedur sebenarnya yang bertentangan dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 5 Tahun 2008 juto Nomor 12 Tahun 2009 tentang Usaha Perikanan Tangkap merupakan suatu bentuk kejahatan yang terstruktur.
“Dari perizinan saja ini sudah ada bentuk kejahatan melanggar hukum yang terorganisir. Dampaknya, Negara mengalami kehilangan uang sebesar ratusan triliun begitu saja.  Belum lagi perusahaan perikanan yang tidak berbasis industri, sama saja membunuh nelayan kita perlahan-lahan,” ungkap Ivan.
Ivan mencontohkan, ada perusahaan yang tidak memiliki Unit Pengolahan Ikan (UPI) sudah mengantongi izin untuk  beroperasi, bahkan sudah beroperasi kurang lebih 1 tahun. Padahal didalam Peraturan Menteri Nomor 5 Tahun 2008 juncto Nomor 12 Tahun 2009 sudah jelas bahwa perusahaan perikanan wajib memiliki UPI.
Perusahaan tersebut lanjut Ivan, bernama PT. Sumber Laut Utama. Lebih parahnya lagi, hal ini terkuak saat Dirjen Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan, Dedy Heryadi Sutisna ketika berkunjung ke Kota Ambon untuk menghadiri Rapat Koordinasi dan Evaluasi Intervensi program Minapolitan di Swiss Belhotel Ambon, pada Selasa, 19 April 2011.
“Ini kejadian yang sangat mustahil, dimana seorang Dirjen menanyakan perusahaan tersebut dan ternyata tidak memiliki UPI. Sementara yang menandatangani surat perizinan adalah Dirjen Perikanan Tangkap. Ini sama saja Dirjen melanggar Peraturan Menteri,” kata Ivan.
Selain tidak mempunyai UPI, ternyata FP4N juga menemukan adanya perusahaan yang menjadi bapak angkat bagi perusahaan perikanan yang ada di Indonesia. Perusahaan tersebut bernama PT. Yongshun, yang mana peran dari perusahaan (bapak angkat) tersebut sangat terstruktur yakni bisa menyedikan kapal penangkap, kapal pengangkut, menyuplai BBM, mengatur jadwal keluar masuk atau kedatangan kapal, dan mempunyai hubungan yang harmonis dengan aparat penegak hukum sehingga kapal-kapal milik perusahaan yang merupakan jaringan dari “bapak angkat” tersebut kurang lebih 2 tahun tidak pernah tertangkap.
Bagian Humas Dirjen Perikanan Tangkap, Sofie tentu saja membantah atas tudingan itu. Menurut Sofie, Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap tidak mengeluarkan izin apabila syarat-syarat perizinan tidak lengkap sesuai peraturan menteri tersebut.
“Tentu saja kami tidak mengeluarkan izin bagi perusahaan perikanan yang tidak sesuai prosedur,” bantah Sofie kepada Indonesa Maritime Magazine belum lama ini walaupun tentunya dia tidak paham apa yang sesungguhnya telah terjadi di lapangan.
Menanggapi hal tersebut, Ivan menantang pihak KKP untuk langsung meninjau ke lapangan agar melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana praktek mafia perikanan itu beraksi.
“Kita dari FP4N siap menunjukkan kepada pihak KKP apa yang terjadi di lapangan, jangan hanya duduk manis di kantor, sebaiknya turun lapangan biar tahu. Sebab, bukti-bukti adanya mafia perikanan di Indonesia telah kami serahkan ke Presiden SBY. Informasi terakhir yang kami dapat, Kementerian Kelautan dan Perikanan mendapat teguran dua kali oleh Presiden dan Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap sudah menyelenggarakan rapat atau pertemuan dengan pihak perusahaan perikanan untuk mencari solusi terkait temuan kami (FP4N) yang akan secepatnya kita tindak lanjuti ke KPK,” sambung Ivan.
Kepala Pusat Data Dan Analisis ICW, Firdaus Ilyas, terkejut atas penemuan hasil investigasi FP4N. Ia mengatakan, kerugian negara dalam temuan ini sangat besar dan diperkirakan mencapai 25 persen dari penghasilan sektor perikanan.
“Kerugian negara dalam data ini disebutkan sangat besar dan diperkirakan mencapai 25 persen dari penghasilan sektor perikanan kita ini penting, coba bayangkan bagaiman jika hal ini bisa di berantas,” tegasnya.
Firdaus mengatakan, data yang diberikan FP4N bisa menjadi acuan tata kelola dan pengawasan KKP dalam pengembangan sektor kelautan dan perikanan Indonesia. Dari temuan itu, lanjut Firdaus, bisa dijadikan langkah awal untuk dilaporkan ke kantor penegak antikorupsi. “Kami akan pelajarin data temuan ini, dan secepatnya akan kami laporkan ke KPK,” terang Firdaus.

Fadel Mimpi Indonesia Exportir Ikan Terbesar Dunia..?
DARI hasil kajian dan temuan investigasi Forum Pers Pemerhati Pelanggaran Perikanan Nasional (FP4N) terindikasi adanya praktek mafia perikanan dengan cara mengeluarkan perizinan yang tidak sah ini merugikan negara triliunan rupiah. Oleh karena itu, Ketua FP4N, Ivan Rishky Kaya dengan tegas mengatakan cita-cita untuk menjadi Negara pengekspor ikan terbesar dunia tahun 2015 hanya merupakan isapan jempol semata.
“Kementerian Kelautan dan Perikanan jangan bermimpi disiang bolong atau jangan pernah bermimpi Indonesia akan bisa menjadi pengekspor ikan terbesar dunia, jika aturan main tidak berpihak kepada industri perikanan yang nyata,” ujar Ivan.
Menurut  pria keturunan Arab Menado ini, kebanyakan perusahaan perikanan di Indonesia yang “katanya” memiliki kapal impor eks asing seperti kapal Cina, Thailand, dan kapal Taiwan yang menangkap ikan di perairan Indonesia, tidak membangun industri di Indonesia. Namun perusahaan perikanan tersebut  membangun industri perikanan di negara mereka yang menyebabkan negara merekalah yang lebih maju ketimbang Indonesia.
Hal ini lanjut Ivan, dikarenakan Kementerian Kelautan dan Perikanan hanya berpihak pada Unit Pengolahan Ikan (UPI) yang tidak mempunyai dampak bagi daerah dan negara. Sedangkan Industri perikanan sudah jelas berpihak pada masyarakat dan negara.
“Kalau perusahaan perikanan memiliki industri perikanan yang nyata di sini, jumlah tenaga kerja yang terserap sangat besar, perputaran uang di daerah dahsyat dan devisa negara juga sangat besar dan jelas. Belum lagi nilai investasi perusahaan, jelas ini sangat menguntungkan negara,” terangnya.
Menurut Ivan, dengan tidak berpihaknya aturan kepada sebuah industri yang nyata, maka dengan demikian masyarakat pesisir dan nelayan kecil secara tidak langsung telah dimiskinkan.
Ivan juga membeberkan, selain tidak memiliki UPI dan ada “bapak angkat” bagi perusahaan perikanan di Indonesia, ada perusahaan perikanan yang menggunakan alamat fiktif. Perusahaan itu bernama PT Maju Bersama Jaya, yang memiliki sebanyak 27 unit kapal dan satu unit kapal tremper (kapal pengangkut).
“Setelah kami mengantongi SIUP PT. Maju Bersama Jaya yang ditandatangani Dirjen Perikanan Tangkap, Dedy Heryadi Sutisna, kami mencari tahu apakah benar perusahaan tersebut beralamat di jalan Dullah Raya, Desa Ngadi KM 08, Kota Tual , Provinsi Maluku. Namun saat kita sampai disana, perusahaan tersebut (PT. Maju Bersama Jaya) tidak ada atau fiktif,” tegas Ivan.
Lebih parahnya lagi, kata Ivan, PT Maju Bersama Jaya sudah mengantongi SIUP yang telah direvisi sebanyak 7 kali dan sudah beroperasi kurang lebih 2 tahun, namun Unit Pengolahan Ikan (UPI) tidak jelas berada di daerah mana.  “Alamat PT. Majau Bersama Jaya ternyata setelah kita lacak adalah fiktif. Bahkan UPI dari perusahaan ini tidak kita ketahui berada dimana,” imbuhnya.
Menurut Ivan, mengenai permasalahan belum mempunyai UPI dan perusahaan perikanan fiktif namun diberikan izin serta alokasi kapal tangkap impor bekas asing dari Kementerian Kelautan dan Perikanan harus segera diusut aparat penegak hukum.
“KPK maupun Kepolisian dan Kejaksaan harus segera mengusut praktek mafia perikanan di Indonesia. Sebab hal ini tidak akan terjadi apabila tidak ada oknum pejabat KKP yang bermain mata dengan perusahaan perikanan ini seperti PT Sumber Laut Utama dan PT Maju Bersama Jaya. Karena perizinan dapat mereka kantongi yang diperoleh dengan cara-cara yang ilegal,” imbuhnya.
Lebih jauh Ivan mengatakan, permasalahan yang ditemukan saat ini adanya indikasi pengusaha yang mencuri ikan di perairan Indonesia dibekingi oleh oknum aparat penegak hukum. Hal ini yang menjadi kendala utama memberantas illegal fishing dan illegal lincese.
Menurut Ivan, Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad selama ini hanya menggembor-gemborkan  pemberantasan illegal fishing yang cenderung terjadi di perbatasan perairan Indonesia. Padahal, illegal license telah mengkorupsi hak negara atas laut.

 


 



Leave a Reply

Followers

About Me

Foto Saya
Nova Jessica
Lihat profil lengkapku

Sponsors

JAM

FASILITAS PENGUNJUNG

Popular Posts

Bagaimanakan pendapat anda tentang Blog ini??